Oleh: D.Krowin
Seusai kontestasi pilpres 2014, ada fenomena menarik yang muncul karena ada yang kalah dan ada yang menang. Dua dunia sosial baru muncul di jagad maya dengan label Cebong dan Kampret. Anak-anak bangsa seakan ditakdirkan dan dilabeli dengan kedua istilah tersebut. Anak-anak bangsa yang terkenal karena kreativitasnya, menjadi kreatif tanpa batas. Segala hal didandani dengan bermacam ragam make-up.
Dalam kontestasi politik di alam demokrasi Indonesia, dinamika yang hadir cukup berombak. Masyarakat terombang ambing dalam phobia perpecahan dan semangat persatuan. Yang terjadi justru lain, pecah dalam kubu, dan bersatu untuk kubu tertentu.
Para Cebong adalah personifikasi daripada orang-orang yang pro Jokowi, sebaliknya oposisi, dinamakan dengan Kampret. Kedua kubu ini saling nyinyir atas nama kebenaran dan perjuangan. Maka tengoklah lini sosial media (sosmed) kita, bak padang perang yang mengerikan. Berlawanan, maka bersiaplah dibully oleh kubu yang satu, pun kubu berikutnya. Kondisi ini sungguh ironis, atas nama harapan dan kebencian, akal sehat justru tergerus, nalar diinjak-injak.
Dampaknya, tak perlu jauh-jauh, yang minimal aja, rusaknya silaturahmi. Dimulai dari saling sindir dan nyinyir, beranjak pada tahap saling unfollow. Terus, di dunia nyata, dulu saling ngopi bareng, sekarang kalau kebetulan satu warung kopi, mendadak pura-pura tak tahu, saling berpaling. Mungkin ini yang namanya kesel-kesal kucing; males, rindu namun saling intai. Romantis amirrr!
Jika kita mau jujur, sebenarnya tidak ada yang benar-benar netral di dunia ini. Selama kita manusia, selalu memiliki kecenderungan. Hanya saja, tergantung individu apakah kecenderungannya yang kemudian akan dituangkan dalam sikap dan ketegasan yang nyata. Atau, malah selow-selow aja sambil terus memantau.
Dalam politik, yang bisa mengubah hasil akhir bukan lagi para pemilih yang sudah jelas pilihannya, yang sudah disurvei dengan metode dan random oleh Lembaga Survei. Tapi, mereka yang belum menentukan pilihannya, atau mereka yang diam tak menampakkan siapa pilihannya.
Setiap pilihan ada konsekuensinya masing-masing, itu pasti. Tapi perkara mau menampilkan pilihan dengan dalih bentuk ketegasan, itu juga pilihan. Dalam hal ini akan menimbulkan paradoks, satu sisi mudah dibaca warnanya. Di sisi lain justru memberikan celah, para pemilih akan dimapping (data), kemudian dianalisis dan dimainkan film politik dengan scene dan narasi masing-masing. Suka atau tidak suka, takdir cebong dan kampret adalah dieksploitasi. Oleh siapa? Oleh mereka dengan kepentingan besar.
Ada masanya kampret insaf, ada waktunya cebong tenggelam. Selain persoalan takdir, kecerobohan masing-masing kubu turut saling menggali kubur masing-masing, yang kemudian tertanam dengan keputusasaan, berkalang kecewa, tertimbun harap. Pada kemungkinan ini, sebagai cebong haruslah waras, dan sebagai kampret patutlah tenang.
Indonesia ini dikenal dengan keragamannya, harusnya kita sadar bahwa makhluk politik Nusantara itu tidak spesifik cebong dan kampret. Selain keragaman, Indonesia juga dikenal unik lagi gokil. Sangking uniknya, setingkat susu saja bisa gak sadar mana yang asli mana yang Susu Kental Manis (SKM) yang padahal gulanya manisnya pake banget. Apa perlu, cebong dan kampret nge-susu SKM jamaah? Biar kedua ini bisa saling bermurah senyum, bermanis muka?
Sepanas apapun suhu politik, jangan sampai kita kehilangan selera humor. Ketegangan ini harus dicairkan, terserah caranya bagaimana. Kalau ada yang bilang ketegangan bisa diredam dengan kelembutan, jangan percaya seutuhnya. Buktinya, banyak itu, berawal dari kelembutan lalu tegang banget. Ingat, ini hanya perumpamaan. Saya tidak punya kuasa mengerem nalar imajinasi liar saudara. You know what I mean. Peace!