Jakarta-SuaraSikka.com: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (31/8), menetapkan mantan Menteri Sosial Idrus Marham sebagai tersangka. Idrus ditahan setelah menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Gedung KPK Jakarta, Jumat (31/8). Dia Ditahan selama 20 hari pertama di Rumah Tahanan KPK.
Idrus tiba di Gedung KPK pada pukul 13.37 WIB, didampingi pengacaranya, Samsul Huda. Dia mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Mantan Menteri Sosial tersebut keluar dari Gedung KPK pada pukul 18.29 WIB. Saat keluar dari ruang pemeriksaan di lantai II, Idrus telah mengenakan rompi tahanan oranye berlogo Tahanan KPK.
“Dalam proses penyidikan, ditemukan fakta baru, bukti, keterangan saksi, surat dan petunjuk, dan dilakukan penyelidikan baru dengan satu orang tersangka, yaitu atas nama IM Menteri Sosial,” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Jumat (24/8), sebagaimana dikutip dari kompas.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Idrus diduga berperan dalam mendorong terlaksananya kontrak kerja sama dalam pembangunan PLTU Riau-1 dan pemberian suap dari pelaksana proyek. Basaria Panjaitan mengatakan Idrus diduga berperan dalam mendorong agar dilakukan proses penandatanganan purchase power agreement (PPA) atau jual beli dalam proyek pembangunan PLTU.
Dia pun disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 ke-2 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Politisi Partai Golkar ini juga diduga dijanjikan uang 1,5 juta dollar Amerika Serikat terkait kasus dugaan suap pembangunan PLTU I Riau. Adapun, uang 1,5 juta dollar AS yang dijanjikan kepada Idrus, akan diberikan oleh Johannes Budisutrisno.
“Uang itu akan diberikan apabila proyek berhasil dilaksanakan JBK (Johannes) dan kawan-kawannya,” kata Basaria Panjaitan.
Sebelumnya, KPK menetapkan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Eni diduga menerima suap atas kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau. Eni diduga menerima suap sebesar Rp 500 juta yang merupakan bagian dari commitment fee 2,5 persen dari nilai proyek.
Basaria Panjaitan menyaksikan penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang hasil operasi tangkap tangan (OTT) di PN Tangerang saat konferensi pers di Gedung KPK, Selasa (13/3). Dari OTT tersebut, KPK menetapkan empat tersangka yakni penerima suap hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang Wahyu Widya Nurfitri dan Panitera Pengganti Tuti Atika serta pemberi suap dua pengacara Agus Wiratno dan HM Saifudin terkait putusan perkara perdata di PN Tangerang.
Commitment fee tersebut diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. Dalam kasus ini KPK juga menetapkan Johannes sebagai tersangka karena memberikan suap kepada Eni. Menurut Basaria, dalam pengembangan penyidikan diketahui bahwa Idrus ikut membantu dan bersama-sama dengan Eni Maulani menerima suap.
BERITA TERKAIT:
Mensos Idrus Marham Mundur, Jokowi Lantik Agus Gumiwang
Idrus diduga berperan dalam pemberian uang suap terhadap Eni Maulani Saragih. Menurut KPK, Idrus berperan mendorong agar Eni menerima uang Rp 4 miliar pada November dan Desember 2017, serta Rp 2,2 miliar pada Maret dan Juni 2018. Semua uang itu diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan Eni Maulana Saragih selalu melapor ke mantan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham setiap menerima uang. Eni Maulani Saragih sendiri mengakui bahwa uang yang dia terima terkait proyek pembangunan PLTU di Riau, ada kaitannya dengan Ketua Umum Partai Golkar. Namun, Eni tidak menyebut nama ketua umum yang memerintahkannya menerima uang.
Menurut Eni, segala seuatu terkait dengan proyek dan uang yang ia terima telah diceritakan kepada penyidik KPK. Salah satunya, penerimaan uang yang diduga untuk membiayai Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar.*** (eny)