PADA Pemilu 1955, Partai Katolik pimpinan IJ Kasimo sebagai salah satu peserta terbukti mendapatkan dukungan mayoritas masyarakat Flores. Menjadi pilihan dan sajian aspirasi politik utama rakyat Flores. Walau pemilu saat itu juga sudah diikuti banyak partai politik.
Dukungan mayoritas masyarakat Flores bagi Partai Katolik pada Pemilu 1955, dapat terjadi antara lain disebabkan karena di masa itu belum terjadi sekularisme dalam gereja. Gereja belum memisahkan diri dari kehidupan politik praktis. Bahkan beberapa pastor sempat tercatat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada berbagai level lembaga legislatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terhadap realitas historis tersebut, Frans Seda atau Ben Mboi pernah menyebutkan bahwa orang Flores itu hanya bisa dipersatukan oleh Gereja dan politik.
Namun sejak 1971, yaitu sejak rezim Orde Baru berkuasa, secara politik mulai muncul fenomena polarisasi politik dalam kehidupan masyarakat Flores. Di saat yang sama, yaitu setelah Pemilu 1971 Partai Katolik telah melebur, ikut berfusi dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Tercatat bahwa sejak awal masa Orba di beberapa wilayah Flores, mulai muncul perbedaan sikap dan pilihan politik yang pada gilirannya berdampak pada persaingan, konkurensi, hingga pertentangan politik.
Dengan demikian, secara politik, orang Flores mulai terpecah dari suatu kesatuan (sikap dan pilihan) politik dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Fenomena cukup menarik terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019 yang lalu, serta pemilu 2024 yang akan datang.
Pada Pemilu 2014 dan 2019, dalam pemilihan legislatif sikap dan pilihan politik orang Flores tentu saja bervariasi sesuai sistem multipartai yang berlaku.
Namun dalam pemilihan Presiden, mayoritas orang Flores terbukti memberikan dukungan politik kepada salah satu figur yaitu Jokowi. Jokowi yang dinilai telah memberikan atensi besar bagi pembangunan NTT dan Flores khususnya selalu mendapatkan sambutan spontan dan euforia masyarakat pada setiap kunjungannya ke Flores.
Namun jelang Pemilu 2024, khususnya terkait Pilpres, sikap dukungan dan pilihan orang Flores nampaknya tidak akan sekompak seperti pada 2 pilpres sebelumnya.
Perbedaan sikap dan dukungan politik masyarakat Flores dalam Pilpres 2024 tersebut kini telah menjadi diskursus yang penuh silang sengketa di antara masyarakat Flores. Termasuk dalam berbagai platform media sosial. Perbedaan atau pertarungan politik seperti ini sesungguhnya wajar saja dalam konteks kebebasan dan demokrasi.
Namun dalam konteks kesatuan persatuan orang Flores, seluruh proses politik Pilpres 2024 yang diwarnai perbedaan dan pertarungan tersebut sepatutnya perlu dimoderasi dari setiap potensi dan kemungkinan konflik internal orang Flores.
Bila gereja masih menjadi satu-satunya benteng kesatuan dan persatuan orang Flores yang Katolik itu, maka gereja seharusnya mampu membawa terang dan pencerahan bagi orang Flores dalam menghadapi Pilpres 2024.
Gereja tak bisa bersikap berdiam diri atau mengambil distansi terhadap realitas politik polaristis tersebut.
Hal ini tentu bukanlah suatu tugas dan peran yang mudah karena selain alasan sekularisme, polarisasi politik masyarakat Flores sebagai akibat kebebasan dan demokrasi itu terjadi di antara kalangan umatnya sendiri.***
Ditulis oleh GF Didinong Say, diaspora NTT, tinggal di Jakarta