Maumere-SuaraSikka.com: Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) menerima 111 pengaduan korban kekerasan perempuan dan anak sepanjang tahun 2022 yang terjadi di Kabupaten Sikka dan Ende.
Demikian Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2022 Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang disampaikan pada Rabu (8/3) di Aula TRuK.
Penyampaian CATAHU 2022 bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional pada setiap tanggal 8 Maret
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua TRuK Suster Fransiska Imakulata menguraikan untuk Kabupaten Sikka tercatat 103 pengaduan, dan Kabupaten Ende terdapat 8 pengaduan. Rincian korban pengaduan yakni 83 anak dan 28 perempuan dewasa.
Korban di Kabupaten Sikka yang melakukan pengaduan tersebar pada 18 kecamatan, minus Tanawawo, Waiblama, dan Palue.
Sedangkan di Kabupaten Ende tersebar di Kecamatan. Maukaro, Ende, Ende Selatan, Ende Utara, Wolowaru, dan Wewaria.
“Jumlah laporan kasus tahun 2022 mengalami kenaikan 6,30 persen, dibandingkan tahun 2021 ada pengaduan 104 korban,” ungkap Suster Fransiska Imakulata.
Dua Ranah
Dimensi kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi dalam dua ranah, yaitu ranah personal dan ranah komunitas.
Ranah personal mencakup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan dalam pacaran (KDP).
KDRT merupakan kekerasan yang angka pengaduannya tertinggi dengan jumlah korban yang melapor 58 orang atau setara 52,25%.
Kasus ini dilaporkan oleh 21 istri, 2 mantan istri, 2 keponakan, 1 anak asuh, 30 anak kandung dan 2 anak tiri.
Dari 21 orang istri, semuanya mengadu mengalami kekerasan psikis. Lalu 19 orang mengalami kekerasan fisik, 10 orang mengalami perkosaan dalam perkawinan (marital rape), dan 19 orang mengalami kekerasan ekonomi/penelantaran.
Sementara itu 1 anak asuh diperkosa dan 1 keponakan menjadi korban kekerasan berbasis eloktronik yang dilakukan pamannya.
Sedangkan dari 32 anak, terdapat 25 anak mengalami kekerasan psikis, 10 anak mengalami kekerasan fisik, 21 anak mengalami kekerasan ekonomi/penelantaran, dan 6 anak mengalami kekerasan seksual, 2 di antaranya diperkosa oleh bapak tiri.
Pada umumnya korban KDRT, mengalami kekerasan berlapis dengan frekuensi kekerasan lebih dari satu kali karena pelaku orang dekat.
Dan dalam kasus ini korban sulit untuk memutuskan rantai kekerasan yang dialaminya karena barbagai alasan. Relasi kuasa yang timpang menjadikan istri dan anak sulit keluar dari situasi kekerasan tersebut.
TRuK menjelaskan juga terkait kekerasan dalam pacaran. Kasus ini dialami 9 orang dan 7 di antaranya berusia anak.
Motif asmara menyebabkan sembilan korban mengalami kekerasan sekual dan eksplotasi seksual. Dominasi laki-laki dalam relasi ini menjadikan perempuan tidak berdaya.
Selain itu keyakinan masyarakat yang menganggap bahwa harga diri atau martabat seorang perempuan terletak pada keperawanannya dan janji akan menikahi korban menjadikan korban terjebak dan terpaksa bertahan dalam lingkaran kekerasan yang dialaminya.
Pada bagian lain, kekerasan terhadap perempuan dan anak di ranah komunitas dilaporkan oleh 44 korban atau setara 38,53% dengan rincian 33 anak korban dan 11 korban perempuan dewasa.
Bentuk kekerasan yang dialami korban beragam yakni kekerasan psikis dialami 16 orang, kekerasan fisik dialami.6 orang, kekerasan seksual dialami 31 orang. Dari 31 orang tersebut ada 21 orang di antaranya mengalami kekerasan seksual berbasis elektronik.
Ada 4 perempuan dewasa yang direkrut secara non prosedural yang mengarah pada indikasi menjadi korban perdagangan orang.
Selain Kabupaten Sikka dan Ende, TRuK juga menggambarkan kasus kekerasan perempuan dan anak di daerah lain di wilayah Flores.
Disebutkan 2 kasus di Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur, 2 korban di Kecamatan Atadei dan Ile Ape di Kabupaten Lembata, dan 2 korban di Kecamatan Aimere di Kabupaten Ngada.*** (eny)