Gunung berapi Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata menebar ancaman sejak Nopember lalu. Ribuan orang dari dua kecamatan, Ile Ape dan Ile Ape Timur, terpaksa mengungsi ke tempat aman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada warga yang karena panik dan ketakutan, langsung evakuasi mandiri ke rumah-rumah keluarga. Ada lagi yang dievakuasi pemerintah daerah setempat ke lokasi pengungsian yang disiapkan.
Derita Lembata menggugah banyak orang. Bantuan pun mengalir, datang dari berbagai penjuru. Kepala BPNB pun langsung turun ke lokasi.
Kisah bencana ini turut mengusik sejumlah pelajar asal Kabupaten Lembata yang sedang mengenyam pendidikan di SMPK Frater Maumere. Jauh di rantau, mereka larut dalam kesedihan tatkala mengikuti berita dan cerita tentang Lembata saat kini.
Syukurlah, Spater Maumere di bawah Yayasan Mardiwiyata, ikut mengambil bagian dalam penderitaan para pengungsi melalui Spater Maumere Peduli Ile Lewotolok. Misi kemanusiaan ini menerbitkan semangat bagi para pelajar asal Lembata.
Alexa Tukan, Ketua OSIS Spater Maumere tidak menyia-nyiakan momen ini. Gadis asal Desa Tana Treket Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata itu mendukung penuh misi kemanusiaan Spater Maumere.
Bersama para pelajar asal Lembata seperti Shela Lamabelawa, Pasya Dalo, Vike Langoday, Depel Bataona, Aldi Panda, Louis, Gito, Farel, Miguel, Risky, Ofan, Sandro, Geraldo, Ampit, dan Stenly, mereka pun bahu-membahu membantu Panitia Peduli Ile Lewotolok yang dikomandani Beatus Lusrin Ben Bara, guru PJOK di sekolah itu.
Semangat para pelajar asal Lembata ini tidak sekedar untuk pulang kampung. Semangat mereka adalah mengusung misi kemanusiaan yang ditanamkan kongregasi para frater Bunda Hati Kudus (BHK). Apalagi bencana ini dialami keluarga dan sanak saudara mereka.
“Kami bergerak bersama Tim Relawan Spater Maumere untuk menyiapkan barang-barang bantuan,” demikian ungkapan semangat Alexa Tukan.
Pelajar Kelas IX Spater Maumere ini, dalam kapasitasnya sebagai Ketua OSIS, dan dalam kecintaannya kepada Tanah Lembata, memimpin 16 pelajar asal Lembata untuk berjibaku dalam kerja mulia itu.
Ada rasa haru yang besar ketika Alexa Tukan dan kawan-kawan berada di tengah-tengah pengungsi. Dari cerita sepintas bersama para pengungsi, mereka menangkap kesan, para pengungsi sudah mulai rindu akan aktifitas keseharian sebelum terjadi bencana.
Menjadi “penganggur” di lokasi pengungsi, sepertinya memberikan beban baru kepada pemerintah daerah, termasuk beban terhadap diri sendiri, karena banyak kewajiban dan tanggung jawab yang tidak bisa dilaksanakan.
Alexa Tukan menaruh perhatian serius kepada anak-anak usia pelajar yang terpaksa tidak menjalankan kegiatan belajar mengajar (KBM). Jangankan KBM, untuk belajar saja, anak-anak itu tidak sempat akibat terkendala berbagai hal, seperti suasana yang tidak mendukung dan terbatasnya sarana dan fasilitas belajar.
Dia memaklumi kondisi itu di tengah situasi yang sulit. Tapi dia berharap dan yakin pemerintah daerah setempat melalui dinas terkait bisa mencarikan solusi yang tepat.
Terlepas dari semua itu, di tengah kegalauan dan rasa prihatin, Alexa Tukan dan kawan-kawan merasa bangga bisa ikut berpartisipasi bersama Tim Relawan Spater Peduli Ile Lewotolok.
Rasa bangga itu terjawab saat mereka melihat antusias yang tinggi dari para pengungsi ketika setiap kali mereka menyalurkan bantuan. Para pengungsi menyambut mereka dengan hangat, bahkan mereka berkesempatan duduk bersama sekedar bersenda gurau dan berbagi cerita.
Rosalia Kewa, seorang pengungsi yang sudah usia lanjut, menjadi kesan tersendiri bagi Alexa Tukan dan Tim Relawan Spater Maumere. Perempuan manula itu tidak menyangka bisa mendapat bantuan yang disalurkan anak-anak Lembata yang sedang menatap masa depan di Maumere.
“Nenek Rosa lucu sekali. Dia senang dapat bantuan, tapi dia bilang malu juga karena sudah merepotkan. Dia kaget waktu tahu kami datang dari Maumere,” cerita Alexa Tukan.
Kisah Alexa Tukan dan pelajar asal Lembata membawa dan menyalurkan bantuan untuk pengungsi, menjadi cerita yang tidak akan berkesudahan. Kisah itu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah pengalaman hidup mereka.
Perjalanan panjang dari Maumere hingga Lewoleba, tentu saja menoreh banyak kenangan. Berhimpitan di atas truk selama kurang lebih 125 kilometer, termasuk menantang derasnya ombak dan kencangnya arus di musim barat seperti ini, tidak menyurutkan semangat mereka. Justeru mereka menikmati semuanya itu untuk memantapkan budaya leluhur yang terkenal: serewi.*** (vicky da gomez)