SENIN 28 Mei 2007, adalah hari kelabu bagi Jepang. Toshikatsu Matsuoka, 62 tahun, Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, ditemukan tewas gantung diri dengan seutas tali di jendela di apartemennya. Sebuah surat wasiat ditinggalkannya untuk rakyat Jepang.
”Dengan kematian ini, saya mengambil semua tanggung jawab dan memohon maaf. Tolong kasihani orang-orang yang masih hidup…”
Anak petani miskin ini dituduh menerima uang haram dari kontraktor senilai 28 juta yen. Toshikatsu mengaku lupa melaporkan donasi sebesar 8.500 dollar Amerika Serikat dari Business Export Forum. Dia tewas hanya beberapa jam sebelum dijadwalkan untuk diinterogasi. Itulah cara orang (baca: pejabat terhormat) di Negeri Sakura menebus kesalahan dan rasa malu karena korupsi.
Di negeri itu, seperti pernah ditulis dalam esai sastra yang mengisahkan Yushio Mishima, pejuang Jepang yang melakukan harakiri karena merasa gagal dalam percobaan pemberontakan melawan penguasa Amerika Serikat dan Pemerintah Jepang pasca Perang Dunia II,
“Bunuh diri adalah harga yang mesti dibayar demi menghapus dosa dan menjaga kehormatan”.
Akan tetapi, di Indonesia, negeri yang beragama ini, bunuh diri adalah suatu yang dikutuk. Namun, demikian sebaliknya, korupsi seperti bukan sesuatu yang memalukan. Karena itu jangankan bunuh diri, para koruptor yang jelas-jelas telah terbukti di pengadilan tak merasa malu dan bahkan juga tak menyesal.
“Di Indonesia, negeri yang beragama ini, bunuh diri adalah suatu yang dikutuk. Namun, demikian sebaliknya, korupsi seperti bukan sesuatu yang memalukan. Karena itu jangankan bunuh diri, para koruptor yang jelas-jelas telah terbukti di pengadilan tak merasa malu dan bahkan juga tak menyesal.”.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya