Dituding Bohong oleh Prabowo, Lembaga Survei Buka Suara
Dibaca 3 kali
Direktur lembaga-lembaga survei berkumpul menjelaskan proses quick count, Sabtu (20/4), di Hotel Morissey, Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat
Jakarta-SuaraSikka.com: Calon Presiden Prabowo Subianto sempat menyerang lembaga survei terkait Pilpres 2019. Prabowo menyebut lembaga survei tersebut berbohong. Lembaga-lembaga survei pun mulai buka suara.
“Hai tukang bohong, tukang bohong. Rakyat tidak percaya sama kalian. Mungkin kalian harus pindah ke negara lain. Mungkin kalau bisa pindah ke Antartika. Kalian tukang bohong, kau bisa bohongin penguin di Antartika. Lembaga survei tukang bohong, rakyat Indonesia tidak mau dengar kamu lagi,” ujar Prabowo dalam orasinya di depan kediamannya, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (19/4) sebagaimana dikutip dari detik.com.
Merespons pernyataan Prabowo, sejumlah lembaga survei yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) buka-bukaan. Sejumlah lembaga survei tersebut antara lain Indikator Politik Indonesia, Poltracking, LSI Denny JA, Cyrus Network, Indo Barometer, Charta Politika, Konsepindo, SMRC dan Populi Center.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, quick count secara scientific tidak sesulit survei yang biasa dilakukan pihaknya. Dia menuturkan pada 22 Mei mendatang, publik sendiri yang akan menilai apakah lembaga survei telah menjalankan quick count dengan benar atau tidak.
“Kalau misalnya ada perbedaan data KPU dan quick count, bisa jadi quick count-nya salah, bisa jadi data KPU-nya salah. Di situlah kita saling mengecek. Ini gunanya demokrasi, adalah saling recheck berdasarkan data scientific, bukan didasarkan pada katanya-katanya,” kata Burhanuddin di Hotel Morissey, Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (20/4).
CEO Cyrus Network Hasan Nasbi menegaskan lembaga survei tidak mengharuskan semua pihak mempercayai hasil quick count mereka karena sadar akan ada pihak yang tidak puas dengan hasil quick count mereka yaitu pihak yang kalah.
“Tidak ada satupun pollster, lembaga yang mengadakan quick count memaksa dipercaya. Nggak percaya hasil quick count, dituntut dan diperkarakan, tidak ada. Sejak 2004, orang yang tidak diuntungkan dengan hasil quick count itu pasti kebanyakan tidak percaya. Memang seperti itu,” ujar Hasan.
Peneliti Indo Barometer Asep Saifuddin kemudian menerangkan hasil quick count tidak bisa dibandingkan dengan survei atau exit poll karena pengolahan data quick count berdasarkan data, sementara survei dan exit poll berdasarkan opini reponden terpilih.
“Quick count itu beda dengan survei atau exit poll. Quick count pada dasarnya sama dengan real count yang dilakukan KPU. Jadi quick count tidak bisa di-apple to apple kan dengan survei atau exit poll. Jenis datanya juga berbeda, bahwa survei dan exit poll sama-sama opini. Sementara quick count sampling terhadap populasinya, dugaan tak bias dari real count-nya,” terang Asep.
Asep pun siap membuka data-data quick count-nya untuk membuktikan profesionalisme pihak dia.
“Quick count ini kegiatan panjang yang sudah dipersiapkan, matang sedemikian rupa, berbulan-bulan. Rasanya tidak ada harganya sekali saat kita seolah-olah dikatakan tukang bohong. Di sini sangat penting, perlu diketahui bagaimana kita rancang quick count, bikin sampel saja berminggu-minggu karena di KPU sendiri rekap DPT saja berubah-ubah,” tandas dia.
Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk mengajak masyarakat berpikir rasional dengan analogi sebuah analogi.
“Apa kalau periksa darah, lebih bagus semua darahnya diambil? Tidak seperti itu kan. Diambil hanya sampelnya,” ujar dia
Hal tersebut dia singgung karena menurutnya marak beredar narasi yang merusak logika tentang ilmu statistika.
“Ada logika yang salah di publik yang beredar, mengatakan makin banyak sampel TPS, makin bagus. Bahkan ada yang mengatakan sudah mengumpulkan data lebih dari 400 ribu TPS. Ini mungkin jadi pertanyaan publik, apa mungkin 4.000 atau 3.000 TPS itu mewakili TPS di seluruh Indonesia? Bisa, asal itu tak bias sampelnya dan randomnisasinya maksimal,” jelas Hamdi.
Dia menyebut para politisi yang mengembangkan narasi tersebut dan menolak quick count sebagai politisi yang anti-sains dan sedang membunuh ilmu pengetahuan.
“Saya tidak mengerti mengapa politisi ini anti-science padahal kita ingin ke depan Indonesia maju seperti negara lain. Kalau menolak hasil dari proses yang ilmiah Ini, apakah kita sedang bunuh ilmu pengetahuan?” kata Hamdi.*** (eny)