Secara tekstual Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memang bukanlah solusi utama bagi pembangunan desa. Tetapi ia menjadi pintu masuk yang sangat strategis untuk mengawal perubahan desa dari keterpurukan dan keterbelakangan.
Dengan anggaran yang langsung dikelola oleh desa, di banyak tempat telah terjadi perubahan positif di desa. Dana desa menjadi berkat, yang memicu kemajuan dan kesejahteraan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di NTT setidaknya 52 kepala desa telah menjadikan dana desa ini sebagai dana dosa. Dana desa diselewengkan. Total kerugian negara mencapai Rp 9 miliar lebih. Mereka bermasalah dengan hukum karena melakukan korupsi dana desa.
Anggaran hampir semiliar lebih yang turun ke desa setiap tahun benar-benar bikin ‘mata gelap’, menggiurkan dan menggoncangkan iman kepala desa. Tata kelola dana desa yang buruk memicu penyalahgunaan dana desa. Alhasil dana desa benar-benar menjadi dana dosa.
Dana yang menyeret para kepala desa ke balik jeruji besi dan meja hijau; dana yang membuat warga desa berdosa karena mencurigai permainan kotor dan memaki-maki kepala desa; dana yang membuat dosa karena desa tidak maju-maju.
Dana desa yang turun ke NTT sudah sangat banyak. Coba tengok di desa kita masing-masing, apakah sudah ada perubahan nyata?
Jangan-jangan yang berubah cukup radikal adalah pola hidup dan style para kepala desa: tiba-tiba ada mobil, tiba-tiba ada truk, tiba-tiba bangun rumah baru, tiba-tiba beli tanah; tiba-tiba ada simpanan.
Dana desa tahun 2019 untuk NTT sebesar Rp 3,20 triliun lebih. Ini untuk 3.026 desa. Tahun 2020 bertambah lagi sekitar Rp 70 miliar menjadi Rp 3,90 triliun lebih. Sejak 2015 – 2020, desa-desa di NTT dibanjiri uang Rp 14,492 triliun lebih.
Lagi-lagi saya bertanya, apakah ada perubahan baik yang sedang terjadi di desa-desa kita saat ini?
Jika ada, syukuri dan dukung kepala desa memimpin perubahan di desa. Jika tidak atau samar-samar, laporkan para kepala desa itu ke penegak hukum.
Karena dana desa harus jadi berkat, bukan mendatangkan dosa. Dana itu untuk rakyat di desa bukan untuk kepala desa.
***
Ada aneka fenomena ‘setengah hati’ terkait pengelolaan dana desa. Pertama, masih ada desa yang memberikan pengelolaan dana desa ke pihak ketiga.
Kondisi seperti itu telah menyimpang dari metode pemanfaatan anggaran yakni menggunakan pendekatan partisipasi masyarakat.
Sebagai contoh, bahan baku untuk bangunan seharusnya diambil dari desa bersangkutan jika di desa itu ada potensi. Namun, fakta di lapangan bahan baku justru didatangkan dari luar, padahal di desa ada.
Kedua, pengelolaan dana desa menggunakan pendekatan top-down. Banyak masyarakat tidak tahu dibuat apa dana desa itu karena kepala desa bilang biar dia yang atur. Masyarakat menunggu saja dan tidak perlu capek-capek ke kantor desa untuk pertemuan membahas ini dan itu.
Ketiga, dana desa juga sering dimanfaatkan oleh para petahana (incumbent) untuk kegiatan sosialisasi jelang pemilihan kepala daerah serentak.
Persoalan tersebut mengakibatkan dana desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di desa, justeru dipolitisasi untuk kepentingan politik dan alat kekuasaan.
Keempat, belum maksimalnya kinerja fasilitator pengelolaan dana di kecamatan dan di desa. Pendamping desa tetapi tinggal di kota. Sesekali baru ke desa. Belum lagi satu pendamping melayani beberapa desa dgn topografi yang kadang sulit.
Dampaknya banyak kepala desa ‘berjalan’ tanpa arah dan akhirnya jatuh ke lembah dosa. Ada yg sadar dan segera bangun. Bertobat. Ada yg keenakan bermain dalam nikmatnya dana dosa itu.
Kelima, implementasi dana desa masuk dalam jebakan “mental enak” (easy going). Lebih suka mengambil jalan pintas dari pada letih berproses panjang.
Sesuai aturan, tahapan pemanfaatan dana desa dimulai dari penyerahan RPJMDes, RKPDes, APBDes. Tiga instrumen ini menjadi faktor penting sebagai landasan bahwa dana desa akan digunakan secara terarah.
Namun yang terjadi di lapangan justeru penyusunan tiga instrument ini kebanyakan dilakukan sekadar formalitas, bahkan menggunakan jasa pihak ketiga. Masyarakat dalam banyak kesempatan tidak dilibatkan. Dana desa mesti membuat rakyat berdaya, bukan sebaliknya diperdaya terus.
Banyak orang berpikir Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sudah sesak. Jadi tidak bisa menampung para kepala desa yang ‘makan doi’ dana desa. Ini keliru. Lapas selalu setia menanti kedatangan para kepala desa yang korupsi dana desa.
Jika dana berkat direkayasa menjadi dana dosa; perubahan untuk desa diabaikan karena fokus pada perubahan diri dan keluarga aparat desa; lalu kepala desa mengambil peran sebagai kepala dosa, maka hukum akan bertindak sebagai panglima.***
*) ditulis oleh Isidorus Lilijawa, pengamat sosial dan politik, tinggal di Kota Kupang