Gelsimus Mariano Pedro, 9 tahun, terpapar Covid. Dia harus menjalani karantina terpusat. Bagaimana suka-dukanya, dia tidak ragu membocorkannya.
Pedro ditempatkan pada lokasi karantina terpusat di belakang Roxy Swalayan. Pelajar Kelas 4 SDK Nangalimang itu masuk pada Sabtu (10/4). Dia diantar Ambulance Khusus Covid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Rapid pertama, negatip. Lalu, rapid kedua, positip. Langsung ambulance antar ke sini,” cerita dia di lokasi karantina, Senin (19/4).
Pedro sendirian saja di dalam mobil. Dia tidak canggung sedikit pun. Tidak ada rasa takut dan kuatir terhadap dirinya yang terpapar virus corona.
Pedro tidak tahu dari mana dia tertular virus corona. Suatu waktu, katanya, dia berbelanja di sebuah kios di Nangalimang. Penjaga kios seperti sedang sakit, karena sering batuk dan bersin-bersin.
Sudah 10 hari Pedro berada di lokasi karantina. Kabarnya dia sudah bisa pulang hari ini. Ternyata siang tadi dapat kabar dari perawat yang bertugas, Pedro baru boleh pulang Selasa (20/4).
Pedro tampak biasa saja mendapat kabar besok baru bisa pulang ke rumah. Tidak ada reaksi “doge” atas dua informasi berbeda yang dia terima.
“Di sini senang, di rumah juga senang,” alasan dia.
Sejak awal masuk lokasi karantina terpusat, Pedro merasa biasa saja. Di tempat itu, kakak kandungnya bersama adik dari bapaknya, sudah lebih dulu masuk beberapa hari sebelumnya. Pedro tidak merasa asing.
Apalagi, selain dua orang terdekat, banyak warga Kelurahan Nangalimang yang terpapar Covid akibat penularan transmisi lokal. Termasuk beberapa anak yang usianya sepantar dia.
Pedro yang lahir pada 3 Maret 2012, menikmati kehidupan di lokasi karantina secara mandiri. Setiap pagi dia putar sendiri susu untuk minum pagi. Sehari makan 3 kali, Pedro lakukan sendiri. Untuk urusan mandi dan toilet, Pedro tidak butuh bantuan orang lain.
“Saya urus sendiri, bisa,” ujar dia sambil memutar-mutar seutas tali rafia berwarna hitam.
Aktifitas harian Pedro dihabiskan dengan bermain. Setelah kakaknya keluar, dia meminta diantarkan mobil remote miliknya. Barang mainan ini pun menemani kejenuhannya di lokasi karantina terpusat.
“Kakak antar mobil remote. Juga dengan bakso,” cerita anak ketiga dari empat bersaudara itu.
Ketika kawan-kawan seusia sudah sembuh, Pedro menjadi satu-satunya usia anak yang ada di lokasi karantina. Tapi itu tidak membuat dia risih. Apalagi dia sudah terlanjur menjadi flamboyan bagi penghuni di tempat itu.
Karena itu tidak heran jika terkadang dia terlibat “bermain” bersama beberapa pelajar sekolah menengah atas yang juga menjalani karantina terpusat.
Pedro juga diandalkan menjadi pelancar bagi kebutuhan penghuni, misalnya untuk beli rokok. Kebetulan di depan lokasi karantina terpusat terdapat sebuah kios milik warga di situ. Beberapa kali terlihat dia datang berbelanja di situ.
Meskipun merasa senang dan nyaman di lokasi karantina, Pedro mengaku kehilangan hiburan. Selama 10 hari dia tidak lagi mengikuti serial animasi dari Malaysia yakni Upin Ipin dan BoBoiBoy.
“Tidak ada televisi,” ungkap dia dengan wajah memelas.
Pedro merasa ketinggalan sekali karena tidak mengikuti lagi tontonan favoritnya. Itu yang membuat dia merasa kurang lengkap berada di lokasi karantina.
Kondisi Pedro sehat-sehat. Dia mengaku tidak lagi merasakan batuk pilek sebagaimana sebelum masuk lokasi karantina. Padahal, kata dia, selama 10 hari dia tidak pernah mendapatkan perawatan kesehatan.
Dua orang perawat, siang tadi mendatangi lokasi karantina. Mereka memeriksa perkembangan kesehatan para penghuni.
Pedro tampak gusar. Dia pikir akan ada lagi pengambilan rapid. Dia lalu bergelayut ke seorang ibu. Ternyata hanya pengukuran suhu tubuh.
Pedro lolos, suhu tubuhnya normal. Perawat pastikan besok dia sudah bisa pulang. Bayangannya langsung tertuju kepada Upin Ipin dan BoBoiBoy.*** (vicky da gomez)