DALAM dunia moderen yang diramaikan oleh gempita politik, militer, dan ekonomi, ada satu tempat yang berdiri sunyi, kecil dalam ukuran namun besar dalam pengaruh: Vatikan. Negara seluas 44 hektare ini bukan sekadar pusat spiritual umat Katolik, tetapi juga menjadi panggung diam dari diplomasi global yang mempengaruhi arah sejarah dunia.
Di bawah bayang-bayang menara Basilika Santo Petrus, diplomasi tanpa peluru dan tanpa mikrofon dijalankan. Vatikan bergerak dengan kekuatan moral, bukan kekuasaan politik: dengan diplomasi rohani, bukan senjata. Di balik kesunyian lorong-lorongnya, Vatikan membentuk dunia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Para Pemimpin Dunia “Menziarahi” Vatikan
Jika Pentagon adalah pusat kekuatan militer dunia, maka Vatikan adalah pusat nurani global. Tidak heran, para pemimpin dunia, lintas agama dan ideologi, selalu menyempatkan diri berziarah ke Vatikan, bukan hanya untuk protokoler, tapi untuk mencari hikmat, restu, dan moral compass.
Barack Obama, Presiden Amerika Serikat ke-44, menyebut pertemuannya dengan Paus Fransiskus sebagai “salah satu percakapan paling menyentuh secara spiritual dalam hidup saya.”
Ia menambahkan, “Paus mengingatkan dunia akan pentingnya kasih, pengampunan, dan pengorbanan nilai-nilai yang terlalu sering hilang dalam politik“.
Angela Merkel, Kanselir Jerman, beberapa kali bertemu Paus dan menyatakan, “Setiap kali saya meninggalkan Vatikan, saya membawa pulang bukan hanya inspirasi, tapi juga tantangan untuk menjadikan politik sebagai instrumen belas kasih”.